Ada sebuah kisah menarik. Hotel A merupakan hotel bintang 5 yang berada di lokasi elit kota Jakarta. Hotel tersebut memiliki 500 kamar. Hotel A memiliki tiga tipe kamar yang terdiri dari standar, deluxe dan suite. Performa hotel A terus meningkat setiap tahunnya dan bahkan mampu mencapai keuntungan bersih rata-rata diatas 100% setiap tahunnya. Begitu pula dengan rating hotel A yang cukup bagus di berbagai platform website penginapan.
Namun, dibalik kemajuan hotel A terdapat kisah miris terkait ketidak sejahteraan karyawan. Rata-rata karyawan di hotel A mengeluh bahwa mereka bekerja penuh tekanan, sedangkan kesejahteraan terhiraukan. Pembayaran gaji yang tidak setimpal dengan beratnya pekerjaan, serta fasilitas-fasilitas yang tidak diberikan. Kemudian, terdapat pemecatan secara sepihak oleh pihak hotel kepada karyawan yang melakukan kelalaian.
Pemindahan jabatan serta divisi yang secara tiba-tiba juga dilakukan. Terkadang, manager tiba-tiba langsung turun jabatan menjadi staff dan sebaliknya staff secara cepat menjadi manager. Lantas, peran manajer Human Resources (HR) hilang begitu saja pada kondisi ini. Peran manajer HR yang seharusnya berwenang mengelolah sumber daya manusia di hotel tersebut justru ditugaskan hanya untuk merekrut karyawan saja. Selebihnya, keputusan- keputusan pengelolaan manajemen hotel diputuskan secara sepihak oleh direksi yang juga pemilik hotel. Hal tersebut membuat management hotel sangat tidak sehat.
Pada akhirnya, kondisi manajemen hotel seperti itu dapat membuat semangat dan performa karyawan menurun. Karyawan akan merasa pasrah dengan segala kebijakan yang ada. Lama kelamaan, karyawan yang memiliki kompetensi baik akan mundur seiring berjalannya waktu. Ketika hotel tidak lagi memiliki sumber daya manusia yang kompeten, maka hotel tersebut pada akhirnya akan hancur.
***
Sebuah organisasi, apapun itu, meskipun dijalankan menggunakan teknologi tinggi, sejatinya tetap dijalankan oleh manusia. Mereka ini lah yang menjalankan setiap sendi operasional. Maka dapat disimpulkan, kualitas organisasi sangatlah ditentukan oleh kualitas SDM nya. Semakin baik kualitas SDM, maka akan semakin tinggi performa organisasi, begitu pula sebaliknya.
Namun kualitas SDM disini bukan saja semata-mata kualitas individu. Mungkin ada SDM lulusan universitas ternama dengan IPK cum laude. Mungkin ada SDM yang sudah malang melintang berprestasi di perusahaan lain sejenis. Mungkin ada SDM yang memiliki kreativitas tinggi dan mampu berinovasi. Namun ini tidak menjamin sebuah kualitas organisasi. Tantangan berikutnya adalah bagaimana para SDM ini mampu berkomunikasi, berkolaborasi, dan bekerja sama untuk menghasilkan output terbaik. Disinilah peran fungsi Human Resource Management.
Dahulu kala, divisi HR hanya memiliki 1 peran, yaitu personalia. Tugasnya tidak lebih dari sekedar mencatat absen dan membayar gaji. Para personalia ini selalu dianggap sebelah mata karena perannya di perusahaan yang dianggap tidak signifikan dibandingkan dengan fungsi lain seperti operasional, sales, marketing atau keuangan.
Namun jaman terus berubah, dan HR memiliki peran yang lebih penting – jika bukan paling penting – dalam sebuah organisasi. Tidak hanya berperan sebagai personalia, Dave Ulrich (1997) tokoh HR Modern dunia memaparkan setidaknya ada 4 peran penting HR saat ini, yaitu :
- Strategic Partner.
HR tidak lagi menjadi pemain terbelakang, tapi justru kini harus menjadi pemain terdepan dalam mengaitkan strategi perusahaan dengan strategi pengelolaan SDM
- People Champion
HR memegang peranan penting dalam memastikan para karyawan memiliki kompetensi dan motivasi yang mumpuni untuk menghasilkan performa terbaik.
- Change Agent
HR juga memegang peranan kunci dalam memimpin perubahan (Change Management) yang ada dalam organisasi.
- Administrative Expert
Meskipun HR memiliki berbagai peranan baru, fungsi awal administratif tetap menjadi tanggung jawab HR
Dalam kasus hotel bintang 5 diatas, salah satu issue adalah HR tidak berperan dalam pengelolaan SDM dan organisasi, dan lebih banyak berperan sebagai personalia. Sebaliknya, top management perusahaan justru banyak mengintervensi dan mengambil keputusan di level bawah. Ini adalah organisasi yang tidak sehat.
Dari kasus ini ada 2 poin yang bisa kita pelajari agar organisasi tetap sehat:
- Organisasi perlu berjalan sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Dalam pengambilan keputusan, direksi perlu berkomunikasi, berkonsultasi dan berkoordinasi dengan unit fungsi terkait. Dalam hal ini HR. Sehingga tercipta mekanisme pengambilan keputusan yang sehat.
- Namun disisi lain, HR perlu meningkatkan kapasitasnya dari hanya administrative expert dan mengembangkan ke 3 peran lain yaitu Strategic Partner, People Champion, dan Change Agent. Sehingga Top Management tidak akan ragu dalam mendelegasikan pengambilan keputusan kepada divisi HR.
Apabila organisasi Anda ingin mengembangkan departemen HR Anda, hubungi konsultan kami dan kami akan siap membantu Anda.