LinkedIn, menurut saya adalah salah satu - jika bukan satu-satunya - media sosial yang menyatukan para penggunanya. Dimana pada sosial media lain, justru banyak memecah kesatuan di antara warganet. Seringnya diakibatkan oleh berbeda pandangan politik.
Kenapa LinkedIn menjadi media pemersatu dan bukan pemecah belah?
Karena LinkedIn merupakan media yang menyasar kebutuhan dasar manusia, yaitu urusan perut. Urusan penghasilan. Urusan pekerjaan. Ternyata, beda pendapat urusan politik, tapi senasib urusan hidup. Yaitu sama-sama pengangguran.
Ada siang, ada malam. Ada hitam, ada putih. Ada lelaki, ada perempuan. Ada Yin, ada Yang. Di LinkedIn, ada spesies pencari kerja, ada juga spesies pemberi kerja. Yaitu recruiters. Diam-diam, bukan hanya pencari kerja yang gentayangan, tapi banyak pemberi kerja juga sedang mencari jodoh. Tinggal klop atau tidak.
---
Google. Adalah perusahaan yang berkali-kali dinobatkan sebagai tempat kerja terbaik di dunia. Menjadi kiblat dari para perusahaan teknologi di seluruh dunia tentang bagaimana mereka mengelola karyawan nya.
Desain kantor yang menarik, lengkap dengan meja pimpong dan makanan gratis, dianggap sebagai bentuk perhatian perusahaan terhadap karyawan. Sehingga talenta-talenta terbaik berlomba-lomba untuk melamar ke google.
Tapi tidak sembarang talenta bisa masuk ke google. Tidak jaminan Anda lulusan Harvard atau Stanford dengan IPK 3,9 bisa diterima kerja di google. Talenta, skill, maupun pengalaman bukanlah indikator utama proses seleksi mereka.
Seperti di kisahkan dalam film The Internship. Dua orang salesman yang baru saja kehilangan pekerjaan, dengan polosnya memutuskan untuk melamar ke google. Perusahaan yang identik dengan anak-anak muda brilian dan tech savvy. Dengan berbagai drama jatuh bangun, akhirnya mereka yang dapat kerjaan.
Apa dasarnya? Mereka mungkin tidak qualified secara skill dan pengalaman, tapi mereka memenuhi syarat sebagai "Googlers". Yaitu orang-orang haus akan tantangan, berpikir panjang kedepan, berani mencoba berani gagal, dan menjadi dirinya sendiri. Google agak suka dengan orang yang agak aneh.
***
Dua orang peneliti asal University of California Berkeley bernama James Baron dan Michale Hannan, meneliti lebih dari 200 perusahaan startup yang ada di Silicon Valley. Lembahnya orang-orang yang ingin membesarkan bagian tubuh tertentu (Eh, bukan ya?).
Mereka mencoba melihat korelasi antara blueprint organisasi dengan kesuksesan perusahaan startup teknologi. Blueprint organisasi tersebut dilihat dari beberapa aspek, diantaranya adalah bagaimana perusahaan membangun hubungan dengan karyawan, bagaimana perusahaan melakukan kontrol, serta bagaimana perusahaan merekrut karyawan.
Kita bahas aspek rekrutmen.
Secara umum, Baron dan Hannan mengelompokkan metode rekrutmen ke dalam 3 golongan:
Hasilnya apa?
Perusahaan yang merekrut karyawan berdasarkan kecocokan nilai budaya dan perilaku, berhasil IPO (Initial Public Offering / Go Public / Menjadi perusahaan terbuka) paling cepat. Memiliki resiko kegagalan paling rendah. Dan memiliki tingkat keberlangsungan paling tinggi diantara perusahaan dengan tipe blueprint lain.
Paper lengkapnya bisa dibaca disini.
Pada penelitian lain, Mark Murphy, melalui salah satu buku kegemaran saya yaitu "Hiring by Attitude" menceritakan fakta mencengangkan mengenai proses rekrutmen. Ia meneliti lebih dari 20,000 rekrutmen selama 3 tahun. Dan hasilnya adalah sebagai berikut:
Hanya dalam waktu 1,5 tahun, 46% dari 20,000 rekrutan itu gagal! Dipecat atau mendapat performance review yang jelek. 46%! Dan kemudian ia meneliti, apa sebab 46% itu mengalami kegagalan. 5 besar penyebabnya adalah:
Dapat dilihat bahwa ternyata, hanya 11% kegagalan rekrutmen yang disebabkan oleh Kemampuan Teknis / Skill. Sisa 89% disebabkan oleh aspek Perilaku atau Attitude!
Dari 2 penelitian di atas, sebenarnya sudah terbukti bahwa salah satu faktor keberhasilan perusahaan adalah merekrut orang yang tepat, dan orang yang tepat belum tentu adalah orang terbaik.
Namun faktanya, saya belum banyak melihat proses rekrutmen yang menitik beratkan kepada perilaku. Umumnya masih seputar, "Dicari lowongan untuk posisi ____ dengan pengalaman minimal 5 tahun, mampu melakukan bla bla bla". Padahal orang yang memenuhi syarat tersebut belum tentu cocok di perusahaan Anda.
Orang yang berhasil di satu perusahaan, belum tentu berhasil di perusahaan lain. Faktornya? Kecocokan.
***
Melalui tulisan ini, saya ingin memantik refleksi dari Anda para rekruters. Bagaimana cara Anda selama ini merekrut? Berapa banyak yang berhasil? Berapa yang gagal? Apa sebabnya?
Begitu banyak orang-orang yang tidak mendapatkan pekerjaan karena mungkin bukan lulusan perguruan tinggi terbaik. Tidak memiliki IPK yang tinggi (IPK saya hanya 2,71). Belum punya pengalaman. Atau simply, tidak bisa membuat CV dengan menarik. Padahal, mana kita tau, mereka adalah orang yang cocok di perusahaan kita?
Saya ingin melempar sebuah ide. Sebuah gagasan. Sebuah wacana. Yang mungkin suatu saat akan merubah cara perusahaan merekrut karyawan. Yang akan membuat orang-orang lebih mudah mendapat pekerjaan. Cita-citanya, suatu saat, LinkedIn ini akan sepi, karena tidak banyak orang yang mencari pekerjaan lagi.
Idenya adalah seperti ini:
Be part of the story and follow us on Instagram via @performaconsulting and subscribe to the newsletter for news and updates about our insights
Copyright © Performa Indonesia